WHAT'S NEW?
Loading...

Secuil Kisah Dibalik Kabut Asap Indonesia


Kabut asap sepertinya sedang jadi trend di wilayah Asia Tenggara, termasuk tempat tinggal saya di Kota Padang. Bencana alam (buatan) ini lebih sering dijadikan isu pertengakaran politik ketimbang dicari penyelesaiannya.


Ketika korban menuntut penyelesaian, isu kebakaran hutan justru dijadikan topik ping-pong mengenai adanya konspirasi politik dari tim itu dan tim ini. Jika rekan-rekan punya waktu untuk saling menyalahkan, kenapa tidak membantu memberikan penyelesaian ?


Minggu ketiga...

Tadinya dibalik jendela ini ada bukit, tepat dibelakang kampus saya, bukitnya tampak bertingkat-tingkat, hijau dengan langit biru dan awan putih yang melengkapinya.
Menikmati pemandangan saja kami tak bisa, sementara rekan-rekan sibuk memandang nasib kami sebagai alat politik.
Banyak anak-anak dan lansia yang membutuhkan udara bersih disini, tapi kami tak bisa dapatkan itu.
Hanya berusaha membiasakan diri, dan melindungi orang-orang yang dikasihi dengan seadanya.


Minggu keempat...

Pagi dan siang tak ada bedanya, sama-sama kelabu, lampu kendaraan menyala siang dan malam, tak ada langit biru, tak ada tanda-tanda esok akan ada lembaran baru.
Memang kami pun salah, meski dilanda kabut asap, tetap banyak yang menggunakan kendaraan pribadi. Padahal gas buangan dari knalpot-nya cukup berbahaya. Terlebih banyak juga kendaraan tersebut yang tak layak jalan, alias emisi nya sudah sangat kotor. Namun banyak yang sudah acuh dengan jumlah kabut ataupun angka ISPU, tak peduli meski tau ada kendaraan umum.
Tetap merokok, tetap membakar sampah.
Seolah berfikir, "Ah, peduli apa, asap yang sedikit ini tak akan mempengaruhi banyak"
Tak sadar apa jadinya jika semua berpendapat demikian.


Minggu kelima...

Rumah penduduk desa dibawah jurang ini tak tampak lagi, hanya kilauan samar atap rumah yang sedikit memberi pertanda bahwa bangunan itu masih berada disana.
Bukit, jalan setapak, dan pepohonan pun warna nya mulai menyatu dengan kabut, tersamarkan.
Buah-buahan yang ditanam tak tumbuh dengan baik, begitupun dengan padi, lantas kami mau makan apa ?
Udara yang dihirup sudah tak layak, makanan yang dimakan pun tak sehat.
Sakit akhirnya dianggap lumrah, tak lagi dapat dijadikan alasan untuk beristirahat.
Waktu terus berjalan, dan kami tak bisa bersantai ataupun berhenti dari aktivitas.
Meski demikian siswa-siswi PAUD, TK, maupun SD sudah mulai diliburkan, kami tak tega jika penerus bangsa juga harus terengah-engah ditengah kabut.
Lantas nanti usaha kami kelak akan dinikmati siapa ?




0 komentar:

Posting Komentar