WHAT'S NEW?
Loading...

Hangatnya Gorengan di Kala Senja : Cireng 5



Screen Shoot One Piece
Kisah ini dimulai ketika saya ditawari untuk mencoba menulis estafet oleh Dik Putu Arya, dimana Dik Putu menulis permulaan kisah dan kemudian saya melanjutkan bab lainnya untuk kemudian diteruskan lagi oleh Dik Putu. Namun, karena saya punya keinginan terpendam menulis novel dengan dua POV yang berbeda, saya meminta agar Dik Putu mengerjakan POV dari tokoh utama pria sedang saya mengerjakan POV dari tokoh utama wanita. Akhirnya jadilah kisah ini, yang sejujurnya plot, alur dan judul saya serahkan kepada Dik Putu (sebut saja saya hanya mau mengerjakan bagian yang mudah *slapped*)

Sekarang akan ada POV Dina, tokoh utama wanita kedua, yang akan dikerjakan oleh Dik Putu.

Well, selamat dinikmati~

_______________________________________________________________

Dina's POV
Kenangan

Aku sungguh bingung saat ini harus berkata apa, ini adalah hari terakhir ku bersama Rico seperti ini. Bermain bersama di pematang sawah sambil mencari ikan kecil di parit.

Hari ini sangat cerah, dikejauhan aku bisa melihat para petani mengusir burung dengan galaknya bersorak sembari menarik tali orang-orangan sawah. Sementara itu dipinggiran sawah anak sapi menyusu dengan manja pada induknya yang berteduh dibawah pepohonan. Suara gemercik air pun menjadi melodi yang indah di telingaku. Aku merasa sangat damai. Namun saat aku merasa nyaman memandangi sekitar perasaanku langsung buyar seketika karena Rico terjatuh di lumpur. Aku memandangi wajahnya terbenam di tanah, pakaian nya penuh noda dan rambut keriting nya ditempeli rumput kering, padi-padi sekeliling nya roboh.

Aku tergelitik menahan tawa sementara dia bangkit, pak tani yang tadinya yang mengusir burung kejauhan, menoleh dan berteriak, "Woeeey ngapain woeyyy". Pak tani itu segera beranjak dari tempatnya hendak menghampiri kami.

Bergegas Rico bangun dan berlari dengan wajah yang penuh lumpur, sekarang dia malah tampak seperti suku pedalaman yang sering kutonton di layar kaca.

Aku tak tahan lagi menahan tawa, dan ku biarkan tawaku lepas terbawa angin.

"Dina lariiiii" teriaknya sambil menggenggam erat lenganku dan menyereretku menjauhi sawah.

"Bocah semprulll" pak tani itu kembali berteriak kesal memandangi padi-padinya yang roboh.


Aku dan Rico terus berlari, dia mengajakku ke pinggiran sungai yang berada  sekitar 100 meter dari sawah tadi. Begitu kami mencapai sungai dia mulai membasuh wajah, kaki dan tangan nya. Nafasnya agak tersengal-sengal, nampak nya dia sangat lelah setelah berlari tadi.

Dia duduk di sebelahku, lalu membaringkan tubuh nya menatap langit.
"Kamu ngapain sih sampai kayak gini ?" tanyaku heran.
"Aku di kejar -kejar sapi" jawabnya asal.
"Hahahahahaha" aku kembali tertawa lepas.
Dia tampak nya kesal dengan tawaku.
"Rambutmu subur ya....?" aku mencoba menggoda nya lagi
"Ahh biasa aja " jawabnya.
"Ini buktinya banyak tumbuhan hidup di kepalamu"
Dia meraba -raba rambut nya melepas rerumputan kering yang tertempel lalu mencoba menempelkan nya ke rambutku.
"Kau ini ya " Rico tampak gregetan.
Aku Menahan tangannya sambil tertawa  lalu berlari menjauhi nya, Rico mengejarku dan berhasil menangkapku.
"Mau lari kemana kau" ia memegang tanganku erat.
"Lepasin kooo", aku mencoba melawan genggamannya.
Di tengah tengah perasaan gembira ini aku tiba-tiba ingat bahwa hari ini adalah hari terakhir aku bisa bermain dengan nya.

Perlahan aku meneteskan air mata.
Ekspresi Rico yang semula girang tiba - tiba berubah menjadi bersalah.
"Kamu kenapa Din?,aku kan cuma bercanda"tanya nya lembut.
"Aku ....... Aku minta maaf Rico.. Hari ini adalah hari terakhir ku main sama kamu"
Dia tampak shock sejenak lalu megang pundakku dengan kedua tangannya lalu mengguncangkan tubuh ku.
"Beneran Din ? bohong kan? " dia tampak tak percaya.

*****

"Din. ... Din ...dina!!!!,".  
Ibuku membangun kan ku dengan tangan nya aku terbangun dengan meneteskan air mata
"Ayo nak siap-siap  15 menit lagi kita sampai"
"Ya bu."
Aku seakan tak percaya mimpi itu terulang lagi. Ku atur kursi sofa di pesawat ini kutegakkan. Aku memandang keluar jendela, dan terlihat bandara dari kejauhan. Aku tersenyum memikirkan pertemuan dengannya.

*****
_______________________________________________________________

Rico's POV
Dina



Minggu pagi aku mulai merapikan kamar ku ,pakaian ku yang berantakan mulai ku rapikan, benda-benda koleksi ku yang memalukan pun aku sembunyikan. Aku tak mau dia melihat koleksi ku yang masih terkesan ke kanak-kanakan apalagi di usiaku yang menginjak dewasa.

Ibuku pun heran melihat tingkah ku yang tidak biasanya.

"Nggak biasanya kamu nak ..... Biasanya ibu harus ngomel - ngomel dulu supaya kamu mau nyuci baju, ngerapiin tempat tidur, ada apa gerangan ? " tanya beliau keheranan.

"Aku kan emang rajin dari dulu buk", kujawab dengan canda.

"Heleh...... Biasanya  juga males-malesan, kalau nggak di omongin aja baru jalan",celoteh ibu.

Eh ibu belum tau ya dina mau bertamu kesini hari ini ? Atau jangan - jangan ibu mau ngasih surprise buat aku? Ah... Coba aku tanya saja.

"Hahahahahah maaf bu maaf aku khilaf, emang ibu belum tau ya kalau Dina mau kesini hari ini?" 
"Hoooo jadi, itu toh yang buat kamu rajin, pantesan. Ibuk sengaja nggak ngasih tau kamu supaya dina itu tau kamu yang sebenarnya"

Duh....... Ibuk kejam banget, kalau sampai Dina tau aku kayak gini mau taruh dimana muka aku.

"Yaelah buk, nggak bisa di ajak kompromi nih..."

"Terus terang ibu juga udah capek bilangin kamu, masih aja males-malesan main game, nonton kartun padahal bentar lagi kamu udah mau kuliah"

Ibu nggak tau apa ya ... Kalau anime itu banyak ngajarin aku sesuatu seperti sebuah perjuangan dan sifat pantang menyerah, ibu aja yang mandang semua yang kulakuin dengan sebelah mata, ahh  sudah lah walaupun aku membela diri juga nggak akan ada habis nya.

Aku mulai lagi merapikan kamar ku mencoba mengakhiri percakapan ku dengan ibuku.

"Kebetulan nih ibu juga baru dari pasar,ntar bantuin ibu ya buat masakan" ujar Ibu sambil memperlihatkan barang bawaannya.
"Iya Buk tenang aja ... Aku pasti bantuin" tanpa sadar aku mulai mengumbar janji.
"Awas lhoo ya kalau nggak bantuin..." menunjuk aku mengancam dengan candaan.
"Iya - iya"


Ibu Mulai meninggalkan ku dan pergi ke dapur, saat itu aku juga memeriksa laci dan ku temukan secarik kertas yang semula kukira hanya sebuah sampah,lalu kubaca tulisan dari kertas yang sudah terlihat usang itu.


[Sepasang ikan di sungai

Sedari kecil kita bersama
mencari makan bersama
Menjadi sebuah keluarga

Saling melingungi menghindari pemangsa
Bersembunyi dalam deras nya aliran sungai 
Menatap indah nya rintik hujan dari dalam


Sungguh ku tak bisa lupa

Semua berubah ketika musim berganti 
Deras nya banjir itu membawa ku pergi 
Aku ingin melawan namun aku tak bisa

Aku  takut tak bisa menatap wajahmu lagi 
Mengingat baik nya dirimu selalu melindungi
Dari kejamnya alam liar yang menakuti


Saat ini aku berjanji 
Aku akan kesana nanti
Melawan arus deras ini

Suatu saat bila kita bertemu lagi
Sambut lah aku dengan warna mu yang indah


Dina, 12 september 2006]

Puisi amatir yang indah.. Rasanya seperti membaca sebuah cerita namun berbentuk puisi, aku sampai terbawa suasana. Aku coba untuk duduk merenungi apa yang tersirat dalam puisi ini. Rasanya sedih kenapa ya? Apa aku melupakan sesuatu dulu? Sekarang bahkan lupa apa yang aku kerjakan saat ini.


Ku lipat kertas itu dengan rapi kusimpan di dalam album masa kecil ku, di saat yang sama tak sengaja aku tatap jam di dinding, jam 09.30. Ternyata baru jam setengah 10 kusimpan album nya dilemari lalu ku tengok jam nya lagi. Wahhhh ternyata udah jam setengah 10 aku harus cepet-cepet nih apalagi aku dah janji bantu ibu masak.

Pikiran ku yang semula tenang mendadak menjadi tergesa-gesa, aku mulai menyimpan baju yang baru saja aku lipat, lalu aku mengganti seprai ku yang agak kusam dengan yang baru, kertas -kertas yang gunakan untuk menggambar kubuang di tempat nya, gitar yang terbebengkalai kugantung di dinding mentupi poster idol girl band yang populer saat ini. Gara-gara Rohman yang mengenalkan ku pada hal semacam ini aku jadi ketularan virus wota.

(Wota : Fans Idolgrup J-Pop)

Setelah selesai aku langsung ke dapur, mengingat janjiku untuk membantunya, namun yang ku lihat saat ini semuanya sudah beres, tak ada yang bisa ku bantu lagi.
"Telat kamu nak, kamu itu memang nggak bisa diandelin... Selalu asik sendiri, nggak bisa bagi waktu", celoteh Ibu.
Ibu mulai ngoceh lagi. Kalau ibu sudah ngedumel udah nggak berhenti padahal aku kan udah berbuat baik tapi tetep aja salah di mana ibu, walaupun dia nggak ngebentak-bentak aku tetep aja bahasanya nusuk di hati, fakta sih memang .

Sebaik nya aku jawab  sekedar nya saja, nanti malah omongan nya ngawur kemana-mana.
"Maaf bu, maaf" kupasang ekpresi agak memelas supaya terkesan aku sedang intropeksi diri
"Haaahhh......" ibu ku menghela nafas
"Udah sini sarapan bareng !"
Akhirnya aku bisa makan juga perut ku sudah mulai demo nih dari dalam.

*****
_______________________________________________________________

Amoura's POV

Ketika aku membuka pintu depan, bunda langsung menghampiriku.
"Siapa itu Moura yang nganterin kamu?", introgasi bunda langsung dimulai.
"Temen sekelas Moura, Bunda, yang ngasih cireng buat Moura waktu itu"
"Jadi karena dia toh kamu bela-belain bangun pagi buat bikinin cireng spesial?", selidik bunda dengan tatapan mata ingin tahu.
"Ayah kan selalu bilang kalau kita harus balas budi. Moura cuma ngelakuin itu aja kok bunda..", jawabku sedikit enggan mengingat sikap aneh Koko tadi siang.
Bunda pun menghela napasnya perlahan sembari mengusap kepala ku.
"Buruan gih, ganti bajunya. Nanti dokter Bryan kelamaan nunggu", ujar bunda lembut.
Aku segera ke kamar dan bersiap. Jadwal rutinku setiap bulan, check up.

*****
Aku lahir dengan kelainan pada katup jantungku. Katup jantungku berukuran lebih kecil dibandingakan dengan katup jantung normal. Akibatnya detak jantungku berada di atas rata-rata. Sejak bunda menjelaskan padaku agar aku tidak melakukan aktivitas yang berat karena kelainan yang aku alami, aku pun berhenti bermain diluar rumah. Aku merasa berbeda dibandingkan yang lainnya, dan bunda pun ikut murung menyesal memberitahukan semua itu padaku.

Suatu hari bunda mengajakku main di taman dekat perumahan kami. Bunda menyiapkan sangat banyak bekal untuk kami berdua. Bunda mengajakku bermain lempar tangkap bola, kemudian mengajak teman-teman bermainku dulu untuk ikut bergabung, setelahnya kami makan bersama. Bekal yang bunda siapkan pun habis tak bersisa. Sejak saat itu aku tidak lagi mengurung diri di rumah, aku bermain seperti biasanya, meski jam bermainku tidak lebih lama dibandingkan teman-teman yang lain.

*****
Seiring berjalannya waktu aku tak lagi bermain bersama teman-temanku. Aku seringkali tak bisa menyesuaikan diri dengan aktivitas dan kegiatan mereka. Aku buruk dalam olahraga, dan satu-satunya keahlianku yang dapat diandalkan adalah belajar. Membaca, menulis, dan mengingat. Akhirmya sedikit demi sedikit terbentuk jarak antara aku dan sekitarku. Semakin lama jarak itu kian melebar dan tanpa sadar aku menjadi penyendiri. Orang lainpun mulai enggan mendekatiku. Tetapi anehnya Koko dengan senang hati mau menyapaku terlebih dahulu. Aku tau sikapku tadi keterlaluan. Mungkin tadi Koko sedang ada masalah, dan aku tidak memperhatikan itu. Mungkin esok aku akan meminta maaf pada Koko dan menjelaskan alasanku. Mungkin dengan Koko aku bisa mulai membuat ikatan lagi.

*****

Hangatnya Gorengan di Kala Senja : Cireng 4

Screen Shot Malam Keberangkatan Chopper-Sakura untuk Dokter Hiluluk


Kisah ini dimulai ketika saya ditawari untuk mencoba menulis estafet oleh Dik Putu Arya, dimana Dik Putu menulis permulaan kisah dan kemudian saya melanjutkan bab lainnya untuk kemudian diteruskan lagi oleh Dik Putu. Namun, karena saya punya keinginan terpendam menulis novel dengan dua POV yang berbeda, saya meminta agar Dik Putu mengerjakan POV dari tokoh utama pria sedang saya mengerjakan POV dari tokoh utama wanita. Akhirnya jadilah kisah ini, yang sejujurnya plot, alur dan judul saya serahkan kepada Dik Putu (sebut saja saya hanya mau mengerjakan bagian yang mudah *slapped*)

Well, selamat dinikmati~

_________________________________________________________________

_______________________________________________________________

Rico's POV
DINA

Hah, gara-gara bel masuk kelas sudah berbunyi, aku tak sempat baca komik nya. Ya, meski begitu, sekarang aku sedikit tau karakter Moura.



Aku kembali duduk dan menyiapkan buku pelajaran saat ini aduh iya PR yang ku kerjakan kemarin. Sebenarnya aku mengerjakan PR itu dengan asal-asalan. Habis mau bagaimana lagi, sulit semua. Masa aku harus tanya emak ku tentang logaritma, yang benar saja .

Tiba-tiba Rohman datang dan terlihat panik. "Aduh ko, gua lupa ngerjain PR. Nyontek dong."
"Wahh gawat tuh bro gurunya killer lagi. Nih aku juga baru buat", ucapku sambil memerikan buku PR ku padanya.
"Waduhhhh thanks yaaa brooo lu emang temen gue", Rohman menyambut sambil menepuk bahu ku.
Aku tertawa dalam hati. Kali ini aku punya teman saat remidi nanti.

Murid -murid berhamburan masuk kelas, dan tak lama kemudian pak guru terlihat dari ke jauhan sedang menuju kemari, Rohman menjadi tambah panik, dia mengerjakannya dengan terburu-buru. Aku memperhatikan keluar jendela. Kulihat lagi pak guru itu dengan lebih teliti dan ternyata itu bukan pak guru matematika dari gayanya sudah terlihat bahwa itu pak guru sejarah. Beliau mulai memasuki kelas namun tak duduk

"Asalamualaikum anak -anak "sapanya hangat
""Waalaikum salam"" jawab murid serentak
"Kalian pasti heran kenapa saya yang datang hari ini. Pak Patrio tadi berpesan bahwa beliau harus menghadiri rapat kurikulum guru matematika di kantor dinas, dan beliau berpesan agar kalian mengerjakan latihan di halaman 49 untuk dikumpul pada pertemuan selanjutnya." tak lama setelah itu beliau pergi.

"Yaaaaaay jam kosong lagiiii" teriak Ikhsan kegirangan
Murid -murid berhamburan
"Sekarang gue nggak perlu ngerjain ginian hahaha merdekaaaa"
"Hei Rohman jangan ribut " tegur Devi sang ketua kelas
"Biarin yeeee dasar mak lampir sekolahan" ejek si Rohman
"Apa sini loe kalau berani!!!" sahut Devi dengan galak
Dan kejar-kejaran diantara mereka pun di mulai ,Sementara itu aku asik membaca komik dan Moura terlihat jengkel karena kehilangan konsentrasi aku tergelitik melihat nya. Guru BK mengintip dari luar jendela dan mereka kembali duduk. Pak guru BK itu memandangi Rohman dengan raut wajah marah, namun Rohman tersenyum seakan tak bersalah
**************
Aku memakai helm ku dan memeriksa bensin motor ku .ku rasa ini lebih cukup untuk pulang ke rumah saat ku tutup bagasi nya saat itu juga terdengar panggilan. "Heyyyy koooko" panggilnya dengan suara lantang.

"Iyaaaaa " sahutku dengan suara lantang

Tunggu sebentar kalau tidak salah nama tadi mirip dengan merk jeli yang sering ku beli di warung dulu. Oh iyaaa saat SD cemilan yang kusukai adalah jeli.

Aku menyalakan mesin motor butut ku dan dia mulai duduk di jok belakangku.
Sebenarnya aku agak nervous karena ini pertama kali nya aku membonceng seorang gadis. Aku mulai menarik gas dan meninggalkan parkiran lalu kusapa satpam yang bertugas saat itu .

"Pak pulang duluan ya "
"Iya hati - hati di jalan dik " sahut dengan senyum ramah nya

Oh iya si Moura nggak bawa helm sepertinya aku harus berhati -hati aku juga tak tau rumah nya .
"Moura rumah kamu dimana ?"
"Kelurahan Tegal Asih RT 23" Jawabnya
Aku sedikit terkejut karena rumah nya tak jauh dari desaku.
"Ohhh ngomong- ngomong tumben kamu mau pulang bareng temen ?"
" Aku lagi irit aja kok, pingin nabung. Ya, dari pada naik ojek mendingan pulang bareng kayak sekaarang kan " sahutnya
"Hooo gitu toh"
Dia memang anak yang cuek tapi dia gadis yang baik dan jujur
"Belok kiri " dia mencoba menunjuk jalan
"Terus ?"
" Ah, udah lurus aja, dikit lagi nyampe "
Saat sampai di depan rumah nya yang bertulis kan RT 23 di depan rumah nya aku kagum rumah nya tak begitu besar tapi juga tak begitu kecil desain nya klasik mirip dengan gaya rumah belanda dengan kaca jendela yang besar dan juga lingkungan nya sangat bersih
"Makasi ya " dengan senyum manis " iyaaa " jawab ku
Moura membuka pintu rumah nya dan saat itu ponselku bergetar
Aku mendapat sebuah pesan

Dear rico coco bandicot

Dah lama ya rasa nya kita nggak ketemu banyak hal yang ingin aku ceritain ke kamu tapi kusimpan nanti saja saat kita bertemu aku ingin tau tinggimu seberapa, apa rambutmu masih keriting seperti dulu, kamu suka pelajaran pelajaran apa,apa kamu masih tidak suka pedas pokoknyaaa semuanyaaa deh.

Kemarin aku lomba membuat puisi tapi sayangnya aku hanya juara 2 di tingkat provinsi. Aku mulai depresi saat itu aku mengurung diri di rumah lalu tiba-tiba ibuku masuk dan menyuruh ku berkemas karena mulai besok aku akan jadi tetanggamu yang baru disana
Semoga stress ku bisa hilang disana dan bisa mendapat ide-ide baru untuk membuat puisi .
Dah ya gitu aja
Your cute best friend and your new neighbours
Dina :3'

Waduhhh kamarku masih berantakan. Kok bisa mendadak gini yaaa, mana kaus kaki ku berantakan lagi di rumah aduhhh sial nya.
_________________________________________________________________________


Amoura's POV
First


Sesaat setelah bel berbunyi semua murid berdesakan masuk ke dalam kelas. Maklum, karena setelah ini adalah kelas Matematika-nya Pak Patrio yang terkenal galak. Aku memperhatikan wajah teman sebangku Koko yang berkerut panik saat memasuki kelas. Khas wajah seseorang yang belum mengerjakan PR. Beberapa murid lain pun tampak gelisah karena ada beberapa soal yang dikerjakan dengan asal-asalan. Aku mendengus sebal karena suara riuh saat ini sangat mengganggu. Aku memandangi sketsa ranting pohon yang belum selesai ku gambar, sebelum menutup buku sketsa ku dan mengembalikannya ke dalam tas, menggantinya dengan buku PR matematika ku.

“Nurul, boleh pinjam buku PR lu nggak? Gue nggak tau jawaban nomer empat nih.”, Siti yang duduk di depanku memanggil Nurul yang duduk di barisan paling depan.

“Pinjem PR Moura aja deh, dia kan murid kesayangan Pak Patrio, pasti dia tau”, Nurul menyahut sambil mendelik ke arahku, setelahnya dia membuang muka mengabaikan Siti.

Siti berbalik perlahan menghadapku dan dengan terbata-bata meminjam buku PR yang sedang ku pegang.

“Nomer 4,5, dan 7 nggak aku bikin karena aku nggak paham”, aku merespon permohonan Siti seraya menunjukkan PR-ku .

“Berani banget lu Moura, Pak Patrio bakal ngamuk nanti. Ah, yaudah deh gue pinjem ama yang lain aja.”, Siti langsung berbalik dan hendak berdiri, tepat sebelum Pak Burhan, guru sejarah kami memasuki kelas.

“Assalamu’alaikum anak-anak.”

“Wa’alaikumussalam pak.”

“Kalian pasti heran kenapa saya yang datang hari ini. Pak Patrio tadi berpesan bahwa beliau harus menghadiri rapat kurikulum guru matematika di kantor dinas, dan beliau berpesan agar kalian mengerjakan latihan di halaman 49 untuk dikumpul pada pertemuan selanjutnya.”

“Baiiiik pak”, semua menyahut dengan wajah bahagia, terlebih teman sebangku Koko.

Setelah mengucapkan salam dan berpesan agar tidak membuat keributan dan dengan tenang mengerjakan tugas, Pak Burhan keluar dari kelas.

“Bikin tugas atau lanjutin sketsa ya?”, aku bergumam perlahan, tak acuh pada suasana kelas yang mulai gaduh, ber-euforia atas jam kosong siang ini.

Aku pun memilih melanjutkan sketsa dan menuliskan tugas hari ini sebagai PR pada buku agenda ku. Tapi saat akan melanjutkan sketsa, aku teringat perkataan Nurul yang menyebutku sebagai anak kesayangan Pak Patrio. Aku dan Pak Patrio memang cukup dekat, karena bagaimanapun, beliau adalah sakah satu kerabatku. Aku ingat ketika aku ngotot ingin sekolah saat aku baru saja keluar dari rumah sakit, Pak Patrio berjanji akan menjagaku dan mengantarkanku ke sekolah. Saat itulah Nurul melihatku datang bersama Pak Patrio, saat itu juga dia tau bahwa aku adalah kerabat Pak Patrio. Di kelasku dulu dia menyebarkan berita bahwa nilai matematika ku selalu di atas rata-rata kelas karena aku adalah kerabat Pak Patrio. Sejujurnya itulah kali pertama aku menjadi sangat kesal dengan Nurul. Pak Patrio sempat dipertanyakan profesionalitasnya oleh kepala sekolah saat berita itu menyebar. Untungnya Pak Kepala Sekolah tidak memperpanjang masalah tersebut setelah melihat sendiri hasil ujianku saat di test ulang.

Aku sendiri sering mengunjungi rumah Pak Patrio di hari libur untuk menanyakan langsung tentang tugas-tugas yang tidak ku pahami. Sekalian mengunjungi Ciko, anak laki-laki Pak Patrio yang masih berusia 3 tahun. Istri Pak Patrio juga selalu menghidangkan banyak cemilan manis setiap kali aku berkunjung. Karena itulah selama ini aku selalu mengerjakan tugas dengan baik. Keberadaan Nurul di kelasku, benar-benar membuatku sangat terganggu.

Kelas semakin gaduh seperti suara dalam pikiranku, dan setiap kali aku merasa kalut seperti ini aku akan berkeringat dingin, dan benar saja tangan dan kaki ku terasa sangat dingin. Aku pun keluar dari kelas dengan diam-diam membawa botol kecil dari dalam ranselku.

********

Aku kembali ke kelas setelah bel pulang sekolah berbunyi. Koko sudah tidak berada di kelas, hanya ada petugas piket kelas yang tengah sibuk merapihkan meja dan menyapu kelas. Aku segera mengambil tasku dan berjalan menuju parkiran. Koko sedang memasang helm-nya ketika aku sampai di pelataran parkiran sekolah. Segera saja aku berteriak memanggil namanya, khawatir dia lupa akan janjinya atau sengaja meninggalkanku. Koko berbalik ke arahku dan berteriak dengan lantang, “Iyaaaa”.

Aku segera duduk dibelakang koko dan berpegangan dengan kuat pada bagian belakang motor. Koko pun menghidupkan mesin dan meninggalkan pelataran sekolah seraya berpamitan pada satpam yang disahut dengan sebuah senyuman hangat oleh satpam yang ku kenali bernama Rusdi dari baju seragamnya. Entah Koko dan Pak Rusdi memang akrab, atau mereka berdua sama-sama tipe orang yang ramah, aku tidak dapat menentukannya.

********

“Moura, rumah kamu dimana?” Koko bertanya setelah kami cukup jauh dari sekolah.

“Kelurahan Tegal Asih RT 23”, jawabku singkat

“Oh, ngomong-ngomong tumben kamu mau pulang bareng temen?”, Tanya Koko lagi.

“Aku lagi irit aja kok, pingin nabung. Ya, dari pada naik ojek mendingan pulang bareng kayak sekaarang kan?” sahutku berbohong. Bagaimanapun aku tak yakin Koko harus tau alasanku yang sebenarnya.

“Hooo, gitu toh” sahut Koko pendek.

*******

“Ntar di depan belok kiri Koko”, aku mengarahkan koko menuju rumahku.

“Terus?”

“Ah, udah lurus aja, dikit lagi nyampe.”

Kemudian aku meminta Koko berhenti di depan rumah berpagar putih dengan gaya Belanda dengan pekarangan yang cukup luas, rumahku. Aku memperhatikan Koko yang memandangi rumahku. Aku paham, banyak yang menganggap rumah dengan gaya kuno seperti rumahku ini sangat jauh dari modern dan mirip dengan rumah-rumah horror. Tapi kami semua selalu merawat rumah peninggalan kakekku ini dengan sangat telaten. Meski tetap mempertahankan arsitekturnya yang kuno, tapi rumahku tetap terlihat asri dan cerah, begitu yang pernah Bi Iyem, pembantu di rumahku katakan setelah kami bersama-sama mengecat ulang rumah ini akhir tahun lalu.

“Makasih ya”, sahutku saat Koko selesai memandangi rumahku.

“Iyaaaa”

Aku melemparkan seulas senyum dan kemudian membuka pintu pagar, bergegas masuk ke dalam rumah. Tak menyadari bahwa Koko masih berdiri di depan rumahku.

********

See you soon~