WHAT'S NEW?
Loading...

Book : Trilogi Soekram




Judul Buku : Trilogi Soekram
ISBN : 978-602—03-1478-5
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Cetakan ke : Kedua (Juli 2015)
Tebal : 273halaman + cover

_________________________________________________________________________________

Blurb
Saudara, saya Soekram, tokoh sebuah cerita yang di tulis oleh seorang pengarang. Ia seenaknya saja member saya nama Soekram, yang konon berasal dari bahasa asing yang artinya --- ah, saya lupa. Tapi sudahlah. Apa pun nama saya, saya harus menerimanya bukan? Pengarang sudah payah sekali kesehatannya, kalau tiba-tiba ia mati, dan cerita tentang saya belum selesai, bagaimana nasib saya—yang menjadi tokoh utama ceritanya? Saya tidak bisa ditinggalkannya begitu saja, bukan?
Saya mohon saudara berbuat sesuatu.

Trilogi Soekram karya Sapardi Djoko Damono berkisah tentang tokoh Soekram yang tiba-tiba loncat keluar dari cerita dan menggugat sang pengarang. Mengapa ia tak selesai ditulis. Mengapa ia tak bisa menjadi pengarang. Mengapa kisah cintanya disusun dengan rumit. Antara Soekram dan Ida, Soekram dan Rosa, Soekram dan istrinya (tentu saja). Sejumlah pertanyaan itu membungkus kisah Soekram yang mengambil latar di kampus, rumah tangga, dan peristiwa huru-hara Mei 98. Novel karya penyair besar Indonesia ini menunjukkan hubungan paling kompleks sekaligus paling sejati antara pengarang dan tokoh di dalam tulisannya.
_________________________________________________________________________________

Tentang Sapardi Djoko Damono, sepertinya tidak perlu saya jabarkan lagi, mengingat pada post sebelumnya saya sudah begitu banyak memuat tentang beliau.

Langsung saja kepada isi buku ini, yang terdiri atas 3 bagian cerita, Pengarang Telah Mati, Pengarang Belum Mati dan Pengarang Tak Pernah Mati.
Bagian favorit saya?
Saya tak yakin apa ada yang seperti itu. Setiap isi bab-nya memiliki daya tariknya tersendiri.
Saya tak dapat menentukan bagian favorit saya dengan cukup baik.
Meski tak dapat menentukkannya, saya ingin berbagi beberapa kutipan yang saya sukai dari buku ini.

…di padang pasir tidak ada larangan untuk memakan pasir atau tidak memakan pasir.

Kutipan tersebut merupakan kalimat yang cukup sering di ulang dalam buku ini. Kalimat itu pun akhirnya merasuki saya dalam berbagai macam bentuk ketika saya mencoba menemukan maknanya. Senada dengan kutipan diatas, kutipan berikutnya berbunyi:

…dalam hidup tidak ada larangan untuk bertahan hidup ataupun menyerah pada kehidupan.

Yang saya duga maknanya tidak serta-merta seperti yang tertulis. Tetapi terkadang ada tulisan tanpa maksud tersembunyi, apa adanya, namun saya terlalu banyak menerka-nerka. Maklum saja, dari buku sajak Hujan Bulan Juni, pun novelnya, saya merasa Trilogi Soerkam  menyimpan maksud lebih dalam. Bukan lantaran bahasa yang digunakan terlalu berat, hanya saja bahasan, cakupan Trilogi Soerkam saya nilai jauh lebih luas dibandingkan buku Eyang Sapardi lainnya yang saya baca.

…dalam cinta tidak ada larangan untuk mencintai ataupun menolak mencintai.

Well, daripada terus menuliska pemikiran absurd saya, mungkin sebaiknya saya akan memberikan kutipan lainnya.
Ucapkan terimakasih pada jalan, meskipun tidak akan pernah membawamu ke suatu tujuan yang jelas.
Halaman 100
Kutipan ini mengingatkan saya pada salah satu sajak Kahlil Gibran. Bukan karena maknanya yang sama, tetapi…
Apabila cinta memanggilmu ikutilah dia walaupun jalannya berliku, dan apabila sayapnya merengkuhmu, pasrahlah, meski pedang yang tersembunyi di baliknya melukaimu.

Err, kalau tidak salah begitulah sajak Kahlil Gibran. Untuk alasan yang tidak jelas, saya teringat akan sajak itu. Ini pasti efek samping, ketika anak 12tahun kecanduan membaca sajak tentang cinta yang belum ia pahami artinya (?)
Ah, saya bicaranya ngelantur lagi..
Next...next
Tidak ada apapun di dunia ini selain yang kosong, sebab hanya yang kosong itulah kita menemukan isi. Isi demikian hanya bisa ada karena yang kosong, wadahnya. Bukankah langit yang kosong, tetapi isi? Dan bukankah hatimu penuh dengan isi tetapi kosong?

Kutipan pada halaman 112 ini dengan sangat banyak telah menyentuh saya. Hal pertama yang terlintas dalam pikiran saya adalah bagaimana saya selalu memandang rendah diri sendiri, merasa kosong dibandingkan dengan orang lain. Bagaimana saya merasa memiliki banyak hal yang ternyata bukan sesuatu yang benar-benar saya miliki.

Duh, maafkan kalau saya ternyata ngelantur lagi.
 …yang hitam itu pada hakikatnya putih, suara itu pada intinya kesenyapan, yang jauh itu sebenarnya terletak dalam hati kita sendiri.
Halaman 116
Hanya saja ada yang selalu terdengar lamat-lamat seperti suara yang mengingatkannya bahkan dalam perjuangan ia tidak dilarang menikmati keindahan alam.
Halaman 177
Tuhan yang Maha Pemurah, Wahai!
Kami turuti saja apapun kehendak-Mu//Yang sepenuhnya bisa kami pahami//Atau yang sama sekali tak kami pahami//Yang harus kami terima kapan saja//Meskipun kami bersuka atau berduka//Yang harus senantiasa kamu syukuri//Meskipun kami miskin dan papa//Meskipun kami dalam kemelimpahan dunia//Yang harus kami dengar baik-baik//Meskipun di telinga kiri terdengar, ‘Ke Selatan!’//Meskipun di telinga kanan terdengar, Ke Utara‘!’//Tuhan yang Maha Pemurah, Wahai!
Halaman 200-201

Jadi, apakah kutipan tersebut juga kesukaanmu (jika kamu sudah membaca Trilogi Soerkam)? 
Atau mungkin tulisan tersebut menyentuhmu dalam berbagai makna?

0 komentar:

Posting Komentar