Book : Selama Kita Tersesat di Luar Angkasa (Kumpulan Cerita Absurd)
Judul
Buku : Selama Kita Tersesat di Luar Angkasa (Kumpulan Cerita Absurd)
Penerbit
: PT Gramedia Pustaka Utama
Penulis
: Maggie Tiojakin
ISBN
: 978-979-22-9616-7
_________________________________________________________________________________
Blurb
SELAMAT
ANDA TERSESAT!
Tarik
napas.
Tahan.
Pikirkan
hal-hal yang paling Anda syukuri.
Bayangkan
perjalanan jauh Anda dari rumah.
Tahan.
Jika anda
bisa menemukan jalan keluar,
apa yang
akan anda lakukan?
Tahan.
Berdoalah.
Gantungkan
harapan setinggi-tingginya.
Tahan.
Tenang,
Anda belum mati.
Lihat
sekeliling Anda, perhatikan.
Sesak?
Jangan
khawatir, pada titik ini seharusnya
Anda sadar:
semua orang tersesat.
Sekarang
lepaskan napas Anda.
Dan
ambillah langkah pertama menuju
petualangan
baru.
Semoga
suatu hari Anda bisa menemukan
Jalan
pulang, atau kalau tidak----
Teruslah
melangkah.
Perhatian:
Jangan
baca buku ini di tempat umum guna mencegah terjadinya reaksi yang tak
diinginkan. Bawa pulang buku ini, sembunyikan, baca diam-diam waktu tengah
malam sambil ditemani kopi panas. Atau teh. Atau…
Pilih
candumu sendiri.
_________________________________________________________________________________
Catatan
Penulis oleh Maggie Tiojakin (2013)
Ada
yang bilang bagian ini penting, namun ada juga yang bilang tidak penting---tapi
penting atau tidak, saya rasa tak ada salahnya kalau kita kenalan lagi.
Nama saya Maggie Tiojakin. Lahir di
Jakarta tahun 1980.
Ini adalah kumpulan cerita pendek
ketiga saya (termasuk Homecoming yang saya terbitkan sendiri di tahun
2006). Kumpulan cerpen kedua saya berjudul Balada Ching-Ching (GPU,
2010). Lalu di akhir tahun 2011, novel pertama saya , Winter Dreams,
juga diterbitkan GPU. Tak terasa sudah hamper dua tahun saya tidak menerbitkan
buku. Oh well.
Anyway, sedikit latar
belakang: waktu duduk di kelas III SMA, dua cerita pendek saya diterbitkan oleh
Anita Cemerlang. Kalau tidak salah yang satu berjudul Koin Emas,
tentang koin keberuntungan. Sedangkan satunya lagi bercerita tentang cinta lama
yang bersemi kembali. Saya lupa judulnya apa. Honor yang saya terima dari
majalah Anita Cemerlang dikirim via pos wesel dan berjumlah IDR 90.000 per
cerita pendek---angka yang lumayan besar untuk anak SMA di zaman itu.
Selepeas SMA, saya mengambil jurusan
ilmu komunikasi di Universitas Pelita Harapan. DI tahun 1999, menduduki
semester dua, saya menyelesaikan sebuah novel yang saya beri judul Karang
Timur. Tebalnya 480 halaman dan terbagi ke dalam 40 bab. Proses
penulisannya sekitar enam bulan, di mana setiap hari saya menyisihkan waktu
selama lima, enam jam untuk menulis.
Seminggu sekali, saya menyelesaikan
satu, dua bab tulisan yang kemudian saya serahkan kepada teman satu kampus saya
untuk dibaca secara berkala. Namun, tanpa sepengetahuan saya, bab-bab tersebut
ternyata berputar diantara teman-teman satu fakultas. Mereka membaca secara
bergilir. Suatu hari, saya sempat didatangi sejumlah siswa yang menanyakan
kelanjutan novel tersebut. Saya sampai terperangah.
Tiga bab terakhir novel itu dibaca
oleh teman saya yang setia duduk di samping meja tulis saya sambil menunggu
bab-bab tersebut dimuntahkan oleh mesin printer yang tintanya sudah mulai pudar.
Benar-benar hot off the press. Katanya tidak sabar. Dia sengaja
meluangkan waktu untuk membaca akhir cerita dari kisah Starla, si protagonist
cerita. Begitu tiba di halaman terakhir, teman saya hanya bilang, “Sial loe.
Bikin gue nyesek gini.” Dari sana, lembaran-lembaran itu berpindah ke
tangan-tangan lain hingga saya tidak tahu lagi berakhir di mana. (Draf digital
novel itu masih tersimpan sampai saat ini, namun sudah tak saya kunjungi.
Mungkin nanti, kapan-kapan.)
Saya juga sempat congkak, merasa
bahwa saya sanggup memanggul label sebagai penulis di usia belia. Apa sulitnya?
Yang penting saya menulis. Kemudian di tahun 2001, saat magang sebagai staf
editorial di jurnal sastra-politik, The Atlantic, yang berbasis di
Amerika Serikat, saya pernah dinasehati oleh seorang editor dengan reputasi
raksasa agar tidak lekas berpuas hati terhadap bakat yang saya miliki.
Beliau juga menuliskan pesan untuk
saya di atas kertas surat perusahaan dimana salah satu paragrafnya berbunyi:
“Kamu memang penulis, itu saya yakini. Tapi itu bukan berarti kamu tidak perlu
belajar. Proses belajar berlangsung seumur hidupmu. Tekuni itu selama kau tetap
ingin berkembang sebagai penulis. Ingat, seorang penulis yang baik butuh 1%
bakat dan 99% ketekunan.”
Satu persen bakat.
Sembilan puluh Sembilan persen
ketekunan.
Menulis adalah pekerjaan soliter,
begitu kata Clara Ng, salah satu penulis Indonesia yang namanya taka sing lagi
di telinga pembaca. Saya setuju. Jatuh-bangun seorang penulis saat menyusun
balok-balok dunia ciptaannya tidak bisa dirasakan orang lain kecuali dirinya
sendiri. Rasa putus asa yang kerap hinggap ketika cerita yang masih dalam
proses peulisan berhenti mengalir atau rangkaian kata yang telah dicetak hitam
di atas putih kurang memuaskan----juga tak bisa dibebankan ke orang lain. Dan
hari demi hari seorang penulis terus kembali duduk di meja kerjanya sambil
menatap halaman kosong dengan jantung berdebar: apakah kemampuan itu masih ada
atau sudah hilang sama sekali?
Rainer Marie Rilke, dalam suratnya
kepada seorang calon penyair muda, pernah berkata: “Bila Anda tidak merasa harus
menulis. Bila Anda masih bisa hidup tanpa menulis. Maka jangan menulis.” Saya
rasa ini nasihat paling bijaksana yang bisa diberikan kepada seorang calon
penulis. Karena dorongan itu sifatnya sangat pribadi.
Selama tujuh tahun merantau di
negeri orang, saya berusaha untuk mencari tahu semua yang bisa saya cari tahu
tentang menulis, apa pun mediumnya. Saya mengambil kelas drama dan creative
writing di Havard Extension School. Saya bekerja sama dengan independent
filmmakers di Emerson College untuk membuat film pendek. Saya magang di
jurnal sastra-politik tertua di negeri Paman Sam untuk mengetahui seluk-beluk
dunia penerbitan majalah. Saya magangdi rumah penerbitan buku anak-anak dan YA
(Young Adult) bernama Candlewick Press, yang menerbitkan serial How
Much I Love You, Where’s Waldo, Judy Moody---dan semua buku yang ditulis
oleh Kate DiCamillo. Saya menulis berita local untuk Boston Globe dan Somerville
News. Saya iseng mencoba untuk masuk ke dunia teater dengan menjadi seorang
stage manager pada produksi musical Gilbert and Sullivan; lalu
pada produksi musical karya Stephen Sondheim. Saya juga sempat pergi ke
Hollywood untuk mendalami ilmu perfilman, tapi hanya untuk sesaat. Di Los
Angeles , saya temukan bahwa hamper setiap orang bercita-cita menjadi
sutradara, produser, penulis, musisi, aktor, dan masih banyak profesi penghibur
lainnya. Jengah rasanya. Maka saya kembali ke pantai timur Amerika Serikat
dengan niat melanjutkan apa yang sudah lama saya mulai. Menulis.
Dua belas tahun lalu, di tempat
pemberhentian bus di daerah South End, Boston---saya berdiri bersama mentor
saya, Larry Starkey, di bawah rinai salju sambil menunggu kedatangan bus lokal.
Bibir saya beku. Rambut saya basah dan agak mengeras. Larry ,menyulut sebatang
rokok dengan susah payah karena angin yang terus berhembus dingin. Usianya
empat puluh tahun di atas saya. Dia juga baru saja meminjamkan buku Editor
of Genius karya A. Scott Berg untuk say abaca.
“Bagaimana caranya jadi penulis yang
baik?” Tanya saya tiba-tiba.
Larry tertawa, “Damn, kid.
Kenapa kamu serius sekali?”
“I don’t know”
“Hanya ada satu cara untuk menjadi
penulis yang baik. You have to live your life.”
Pada saat itu saya tidak mengerti
apa maksud Larry. Live my life? Dan baru sekarang saya bisa
mengapresiasi penuh nasihatnya itu. Live my life. Karena pada dasarnya
tulisan yang paling baik adalah yang berusaha mengusik kenyamanan dalam hidup.
Bagaimana kita bisa mengusiknya bila kita sendiri tidak berusaha menjalaninya?
Sebenarnya, butuh waktu cukup lama bagi saya untuk berani memanggul label
sebagai penulis. Bukan karena saya tidak mau, tapi karena saya pada akhirnya
tersadar bahwa label itu tidak bisa sembarangan ditempel atau dipamerkan kepada
orang lain seperti stiker. Butuh dedikasi yang besar untuk bisa memenuhi
tuntutan yang datang bersamaan dengan penggunaan label tersebut.
Saya bukan orang pintar, bukan
ilmuwan dengan prestasi sejagat, dan bukan juga pahlawan dengan medali dan
penghargaan tinggi. Saya tidak bernaung di bawah organisasi politik. Saya tidak
pernah mendirikan sarana social. Dan saya tidak punya mimpi menggebrak atau
mentransformasi apa-apa. Saya hanya orang biasa. Cerita-cerita yang saya sampaikan
pun biasa. Tidak ada elemen heroism di dalamnya.
Saya menulis karena saya tidak bisa
tidak melakukannya. Saya menulis karena bila tidak saya yakin, kabel-kabel
saraf dalam otak saya akan korslet. Ini satu-satunya medium yang bisa saya
aplikasikan dalam hidup saya guna mencegah timbulnya kegilaan di usia muda.
_________________________________________________________________________________
Saya
sengaja mencantumkan 97,5% catatan penulis yang dibuat oleh Maggie Tiojakin
dalam buku ini karena ada banyak nasihat yang menginspirasi saya. Saya piker
nasihat ini akan lebih baik jika disampaikan pula kepada rekan-rekan pembaca
dan penulis lain yang membaca postingan saya ini.
Sejujurnya
ini merupakan buku Maggie yang pertama saya baca, namun ini bukanlah kali
pertama saya melihat namanya. Saya cukup sering menemukan namanya di toko buku,
dan selama ini saya berpikir bahwa Maggie adalah seseorang berkebangsaan asing.
Ketika saya menemukan SKTLA (Selama Kita Tersesat di Luar Angkasa), saya
tertarik untuk memiliki buku ini. Kumpulan Cerita Absurd, begitu
yang tertulis pada cover-nya. Kalimat itulah yang menarik rasa ingin
tahu dan penasaran saya sebagai pembaca.
Namun,
setelah membaca kisah-kisah di dalamnya saya tidak merasa kisah-kisah itu
absurd. Bagi saya kisah-kisah tersebut seperti penggalan kisah sehari-hari, dan
cara penceritaan tanpa awal dan akhir yang jelas membuat kisah-kisah tersebut
kian menarik. Saya merasa setiap kisah pada buku ini memberikan kebebasan bagi
pembaca untuk menerka-nerka apa topik yang ingin disampaikan, apa yang
dikisahkan dan lainnya.
Proses
kreatif kisah-kisah di dalam buku ini dapat dilihat pada situs Fiksi Lotus (Fiksi Lotus - Kumpulan Cerpen Klasik Dunia)
Teradapat
14 kisah berbahasa Indonesia dan 5 kisah berbahasa inggris sebagai bonus. Kali
ini saya tidak berniat menuliskan setiap judul kisah yang ada pada buku ini.
Saya hanya akan menceritakan sedikit tentang kisah-kisah yang menarik minat
saya.
Kisah
kedua, Kristallnacht--- sebuah penggalan wawancara sejarah dengan saksi
hidup, dan saya selalu suka segala sesuatu yang berkaitan dengan sejarah.
Kisah
ke-empat, Fatima, kisah seorang gamers yang setia memainkan sebuah game
yang sama dengan rute yang sama setiap minggunya. Saya merasakan aroma cinta
(?) pada kisah ini, dan itu yang membuat saya menyukai kisah ini.
Kisah
ke-lima, Panduan Umum Bagi Pendaki Hutan Liar, kisah tentang ayah yang mencoba
mengajarkan tentang kehidupan pada anak gadisnya, ketika membaca ini, saya
teringat pada ayah saya.
Kisah
ke-enam, Kota Abu-Abu, ketika membacanya saya merasa kisah ini ditujukan untuk
orang seperti saya, yang diam pada zona aman-nya dan enggan melangkah jauh
mencari warna baru. Orang seperti saya yang mengurung diri dalam ketidak
pastian setiap jawaban, diam dan tidak mencoba mencari kebenarannya. Entahlah…
Kisah
keujuh, dies irae, dies illa. Kisah ini meningatkan saya pada kondisi
perang yang dikisahkan dalam buku Totto-chan yang telah saya post
sebelumnya. Ingatan saya tersentuh.
Kisah
ke-delapan, Saksi Mata. Sulit mendeskripsikan apa membuat saya tertarik pada
kisah ini. Saya hanya bisa mengatakan ini salah satu kisah terbaik yang ada
pada buku ini.
Kisah
ke-sebelas, Dia, Pemberani. Kisah dengan tokoh sepasang suami-istri ini sangat
memanjakan lamunan saya tentang cinta. Cinta adalah sebuah pengertian. Cinta
adalah pengorbanan.
Kisah
ke-dua belas, Suatu Saat Kita Ingat Hari Ini, kisah ini menginatkanku pada
adikku.
Dan
Kisah ke-empat belas, Selama Kita Tersesat di Luar Angkasa, setiap detailnya
sangat menarik bagi saya, pun dengan kata-kata yang dilontarkan oleh sang
kapten.