Review Buku Penivia |
______________________________________________________________
Judul
Buku : Tintentod (Inkdeath)
ISBN :
978-979—22-8968-8
Penerbit : PT. Gramedia
Pustaka Utama
Penulis
: Cornelia Funke
Cetakan
ke : Kedua ( Mei, 2013)
Tebal : 728halaman + cover
Blurb
Di Inkworld, kehidupan ternyata jauh dari mudah setelah
berbagai peristiwa luar biasa Inkspell, ketika Meggie, Mo, dan Staubfinger
kembali memasuki dunia di dalam buku.
Dengan tewasnya Staubfinger dan berkuasanya Pangeran
Perak yang kejam, kisah yang memerangkap mereka pun berubah ke arah yang tidak
di inginkan.
Bersama kedatangan musim dingin, harapan kembali timbul,
tapi hanya kalau Meggie dan Mo dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan masa lalu
dan membuat kesepakatan berbahaya dengan kematian....
______________________________________________________________
WASPADA----AREA PENUH SPOILER---
Okay, langsung saja saya mulai review ala-ala kali ini.
Akhirnya, bisa upload review buku ini.. setelah menghabiskan waktu yang terlalu lama untuk menyelesaikan proses membacanya. Tidak seperti dua buku sebelumnya, review buku kali ini saya upload ketika saya sedang merasa sangat hampa, lebih tepatnya karena efek setelah membaca buku ini sendiri.
Okay, langsung saja saya mulai review ala-ala kali ini.
Seperti judul bukunya, seri terakhir dari trilogi
Inkspell ini sarat akan kematian. Yah, itu bahkan dapat dirasakan saat
mengamati setiap untaian huruf dan gambar pada cover depan dari buku
ini. Tapi mungkin itu hanyalah efek samping psikologis ketika saya memandangi
warna biru kehitaman yang tampak penuh kesedihan dan juga kegelapan. Atau itu hanyalah
halusinasi ketika saya bingung mendapati buku ini berubah warna menjadi hijau
seperti danau musim dingin yang ditumbuhi alga ketika saya membacanya dibawah
temaram lampu tidur.
Meski begitu, saya tidak terlalu terpukau dengan blurb
pada cover belakangnya. Sensasinya berbeda, tidak semendebarkan ketika
saya membaca blurb dari dua buku sebelumnya. Mendapati tokoh favoritmu
mati diakhir sebuah bab (read: Staubfinger) seringkali akan membuatmu tidak bersemangat untuk
melanjutkan membaca bab selanjutnya bukan ? Yup, sudah dipastikan itu adalah
salah satu alasan jantung saya tidak berdegup dengan sensasi yang sulit
didefinisikan ketika mulai membaca buku ini.
Hal yang perlu saya pertegas adalah, buku ini
meningkatkan ketidak-sukaan saya terhadap Elinor, Farid dan Cornelia Funke
sendiri. Well, akan saya jelaskan cukup singkat.
Pertama kita mulai dari Elinor. Kecerewetan, ketidaksabaran, ke-sok-tahuan, dan
ke-ikut-campuran Elinor sepanjang cerita ini sangat membuat jengkel. Saya
seringkali memikirkan ide gila untuk mengomeli Elinor tentang kesalahan yang ia
buat di masa lampau karena sikap-sikapnya itu. Tapi, terus terang saja, itu
semua hanya ide gila. Siapa yang sanggup menghadapi Elinor Loredan yang selalu
memiliki kata-kata untuk diucapkan, bahkan ketika ia disudutkan pada kematian.
Selanjutnya adalah Farid. Tokoh yang membuat saya jatuh
cinta pada jumpa pertama. Saya masih bisa mengingat bagaimana paragraf itu
memuat rangkaian kata yang dipilih Cornelia Funke untuk menggambarkan Farid.
Cinta semacam ini seringkali menimbulkan efek ‘kau sangat menginginkan dia
menjadi saaangat sempurna seperti yang kau impikan’, dan ya.. saya terjangkit
virus cinta semacam itu. Sejak paragraf pengenalan pertama, saya sudah
membayangkan akan seperti apa Farid yang saya impikan dari kisah ini. Tetapi,
pada perkembangan cerita Farid menjadi sangat bergantung pada Staubfinger.
Staubfinger selalu menjadi kepentingan nomor satu. Well, lebih seperti obsesi jika saya harus blak-blakan.
Pada awalnya mungkin dapat dimaklumi bagaimana seorang
anak yang tumbuh dikegelapan tanpa kehangatan menemukan sebuah cahaya. Hanya
saja saya tidak bisa menoleransi pikiran pendek Farid yang ia tahu pasti
menyakiti hati gadis yang ia cintai, Meggie. Memang saya cukup kesal dengan
sikap Meggie yang saya nilai memiliki kecemburuan tak-masuk-akal pada ibunya
sendiri. Tapi, ketika Farid memutuskan pilihan yang menyakiti Meggie, dan kemudian menjauhi
Meggie dan berharap gadis itu dapat mengerti, saya merasa sangat kesal.
Perasaan Farid terhadap Staubfinger sudah seperti obsesi negatif yang penuh
keegoisan, yang hanya menyakiti tidak hanya, Meggie, namun juga Staubfinger dan dirinya sendiri. Walaupun Meggie juga cukup egois, tapi ia sangat sering memikirkan
Farid, meski pemuda itu tidak selalu memikirkan dirinya, apalagi perasaannya.
Oh, maafkan omelan saya yang berlebihan...
Jadi, terakhir.. ke-tidak-sukaan saya terhadap Cornelia Funke timbul
karena alur yang ia tentukan tidak sesuai harapan saya. Alasan yang kekanakan
memang. Tapi sejak ia memunculkan karakter Doria, saya punya firasat buruk
tentang hal itu. Apalagi dia datang di waktu yang ‘sangat tepat’. Tepat ketika
hatinya Meggie hancur oleh Farid. Awalnya saya drop membaca buku ini beberapa
hari karena alasan itu. Tetapi saya kemudian berhenti membaca buku ini, pun
buku lainnya ketika diberi spoiler yang berakhir dengan kemungkinan
terburuk yang sudah saya bayangkan.
Butuh waktu lebih dari setengah tahun bagi saya untuk
kembali membaca buku ini (Oke, ini memang penjelasan yang terkesan berlebihan,
meski begitu adanya. Kalian tau, luka yang disebabkan spoiler dan ending
yang kau benci sangat sulit dihapuskan). Setelahnya saya hanya sanggup membaca
sekitar 80 halaman setiap harinya . Terlebih jika sudah menemukan Meggie
semakin sering memikirkan Doria. Memangnya satu hati benar-benar bisa mencintai
dua pria sekaligus ?
Sedikit banyak saya sangat yakin, Fenoglio memiliki andil
dalam keputusan Meggie. Maksud saya, Cornelia Funke benar-benar mewujudkan,
sebagian, atau keseluruhan pemikirannya dalam sosok Fenoglio. Bagaimana bisa
penenun tinta mengambil inisiatif sebagai dewi asmara? Sengaja atau tidak, dia
selalu memisahkan Farid dan Meggie, padahal masih ada kemungkinan Farid dan
Meggie berbaikan lagi. Ya, lagipula Meggie tidak selalu semarah itu, apalagi ia
juga tau, sebagian kisah-kisah itu terjadi juga karena keputusan ayahnya. Farid
juga pada akhirnya berusaha memperbaiki hubungan yang renggang itu, meskipun ia menyadarinya cukup terlambat. Tetapi
Fenoglio malah membuat Meggie semakin larut memikirkan Doria. Arghh.
(Astaga, saya lebih banyak mengomel diakhir trilogi ini)
Selain ending tentang itu, saya juga tidak
menyukai akhir yang membuat saya bertanya-tanya tentang petualangan Orpheus
yang memiliki hati sangat rendah itu, juga Thumbling yang tidak berbeda jauh
(buruknya) dengan Orpheus, juga impian adik lelaki Meggie untuk mengunjungi
dunia asal Ayah, Ibu, dan kakaknya.
(Jika ada yang tau bahwa
Cornelia Funke menuliskan sebuah kisah lain tentang orang-orang itu, atau
petunjuk lainnya harap kabari saya... Saya benar-benar ingin tahu bagaimana
akhir dari harapan dan rencana mereka.)
Well, berarti lengkap sudah review trilogi ini oleh saya.. hhohoo..
Next, buku apalagi ya... hmmm..
Koleksi Inkheart Series dan To Be Read |
Berikut saya akan munculkan spoiler dari
kalimat-kalimat menarik yang saya temukan dibuku ini sebagai penutup, (meskipun
tidak sebanyak spoiler sebelumnya)~
Betapa cepatnya telinga belajar membedakan arti suara,
jauh lebih cepat dari pada mata mengartikan kata-kata tertulis
-23
(Ketika Mo
memahami kondisi sekitar melalui suara suara derap kuda dengan detail.)
Ia berada dekat di samping Meggie, begitu dekat, tapi
sekaligus sangat jauh.
-81
(Meggie ketika bertemu
Farid lagi)
Rahasia... tidak ada yang merusak cinta lebih cepat
daripada rahasia.
-163
(Resa, ketika
berbicara dengan Meggie)
Jatuh cinta. Wajah Meggie membara. Ia tidak ingin Mo
mengucapkan apa yang tidak ingin diucapkannya dengan kata-kata : Jatuh
Cinta—kedengarannya seperti sakit yang tidak bisa diobati, dan bukankah
terkadang rasanya memang seperti itu?
-170
(Meggie, ketika
Mo mengatakan alasan Meggie tidak ingin kembali ke dunia mereka sebelumnya)
Apakah ia akan tetap sendiri –seperti Elinor—dan hanya
membaca tentang jatuh cinta dalam buku-buku?
-171
(Kecemasan Meggie
jika harus berpisah dari Farid)
Aku ingin tinggal bersama Farid, Resa. Aku tidak ingin
mencari orang lain
-172
(Ketetapan hati
Meggie)
Duka tidak langsung mematahkan semangat wanita. Tapi duka
mengikis habis kekuatan mereka, membuat mereka merasa hampa, secara
perlahan-lahan.
-188
(Fenoglio ketika
bertemu Resa, ia menyamakan (?) kondisi Resa dan Minerva)
Kasihan Meggie. Jatuh cinta kepada pemuda yang salah.
Tapi sejak kapan cinta mau repot-repot memikirkan hal itu ?
-221
(Ketika Meggie memikirkan
Farid yang lebih memikirkan Staubfinger(?))
Pemuda yang salah. Tapi apakah hati peduli pada hal itu?
-224
(Kekecewaan Meggie
terhadap Farid)
Mencintai seseorang hanya berarti kesedihan. Tidak lain dari
kesedihan.
-304
(Ketika Meggie
berusaha tidak marah terhadap Mo, seperti kemarahannya terhadap Farid dan Resa)
0 komentar:
Posting Komentar