Review Buku Penivia |
_________________________________________________________________________________
Judul Buku : Tintenherz (Inkheart)
ISBN :
978-979—22-4271-3
Penerbit : PT. Gramedia
Pustaka Utama
Penulis
: Cornelia Funke
Cetakan
ke : Kedua ( Januari, 2009)
Tebal : 536halaman + cover
___________________________________________________________________________________
Blurb
Mo-ayah
Meggie- memiliki kemampuan ajaib: ia bisa mengeluarkan tokoh-tokoh dari buku
yang dibacanya. Sayangnya kehadiran mereka ternyata harus ditukar dengan
manusia-manusia dunia nyata.
Sembilan
tahun yang lalu, Mo membaca Tintenherz. Tanpa sengaja ia memunculkan berbagai
tokoh jahat buku itu, dan membuat ibu Meggie lenyap karena masuk ke buku.
Capricorn dan Basta, dua tokoh jahat dari buku tersebut, lantas menculik Mo
karena ingin Mo memunculkan lebih banyak lagi tokoh jahat dari Tintenherz.
Termasuk sang Bayangan, monster menakutkan yang akan bisa membunuh semua musuh
Capricorn. Capricorn juga menyuruh Mo mengeluarkan harta dari berbagai buku
untuk membiayai kejahatannya di dunia ini.
Maka
bermunculanlah tokoh dari berbagai buku, termasuk Tinker Bell dari buku Peter
Pan, Farid dari Kisah Seribu Satu Malam, troll, goblin, bahkan si prajurit
timah.
Situasi makin rumit karena Meggie ternyata memiliki
kemampuan yang sama dengan ayahnya.
________________________________________________________________________________
Mungkin
banyak yang tak asing dengan Inkheart, karena selain merupakan salah satu novel
terbaik Cornelia Funke. Inkheart juga sudah pernah difilmkan, dan tentu saja, saya sependapat dengan pendapat orang lain pada umumnya tentang buku ini, "Versi buku selalu lebih spektakuler dibandingkan film adaptasinya."
Sebenarnya ketertarikan saya membaca buku ini benar-benar dimulai setelah saya menonton versi film-nya. Terlebih setelah ditelusuri, penulis buku ini merupakan salah satu penulis yang saya idolakan. Saya sempat kesulitan menemukan buku kedua dan ketiga setelah mendapatkan buku pertama. Hal ini melatarbelakangi alasan saya tidak mulai membaca buku pertama setelah mendapatkannya. Well, seperti manusia pada umumnya, saya tidak menyukai ke-tidakpastian, saya butuh tau kelanjutannya segera.
Saya pernah sekali membaca sebuah novel setelah diadaptasi menjadi film, The Golden Compass, setelah novel versi film dirilis dalam bahasa Indonesia, kelihatannya ketertarikan pembaca terhadap novel ini tidak memenuhi ekspektasi, sehingga saya tidak pernah membaca kelanjutannya hingga saat ini, dan tidak pernah lepas dari memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada buku selanjutnya.
Singkat cerita, ketika saya membaca buku ini, meski sangat terlambat setelah menemukan buku ke-dua dan ke-tiga, bisa dikatakan saya over excited and yes, buku ini benar-benar melebihi ekspekatasi saya. Saat itu bahkan saya berpikir untuk mendapatkan versi bahasa German, dan mempelajari bahasa German, sesuai asal dari Cornelia Funke.
Sebenarnya ketertarikan saya membaca buku ini benar-benar dimulai setelah saya menonton versi film-nya. Terlebih setelah ditelusuri, penulis buku ini merupakan salah satu penulis yang saya idolakan. Saya sempat kesulitan menemukan buku kedua dan ketiga setelah mendapatkan buku pertama. Hal ini melatarbelakangi alasan saya tidak mulai membaca buku pertama setelah mendapatkannya. Well, seperti manusia pada umumnya, saya tidak menyukai ke-tidakpastian, saya butuh tau kelanjutannya segera.
Saya pernah sekali membaca sebuah novel setelah diadaptasi menjadi film, The Golden Compass, setelah novel versi film dirilis dalam bahasa Indonesia, kelihatannya ketertarikan pembaca terhadap novel ini tidak memenuhi ekspektasi, sehingga saya tidak pernah membaca kelanjutannya hingga saat ini, dan tidak pernah lepas dari memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada buku selanjutnya.
Singkat cerita, ketika saya membaca buku ini, meski sangat terlambat setelah menemukan buku ke-dua dan ke-tiga, bisa dikatakan saya over excited and yes, buku ini benar-benar melebihi ekspekatasi saya. Saat itu bahkan saya berpikir untuk mendapatkan versi bahasa German, dan mempelajari bahasa German, sesuai asal dari Cornelia Funke.
Review Buku Kedua : Tintenblut (Inkspell)
Buku ini
digambarkan dengan sudut pandang orang pertama sebagai Meggie dan juga sudut
pandang orang ketiga serba tahu, dan saya suka itu. Tidak salah jika Scholl
Library Journal mengatakan bahwa trilogy Inkheart bisa menjadi alternatif bacaan untuk penggemar Harry Potter, karena ada banyak keajaiban dan
kemungkinan, serta petualangan yang juga seru dalam kisah ini.
Perlu digarisbawahi, ketika buku ini direkomendasikan kepada penggemar Harry Potter, perlu diingat bahwa kisah Meggie memang bersumber dari kekuatan di luar nalar milik ia dan ayahnya, tapi sihir bukan merupakan inti dari kisah ini. Selain itu perbedaan yang saya rasakan adalah, Cornelia Funke sepertinya sangat senang mengeksploitasi sisi negatif manusia dalam karakter cipataannya, yang membuat karakter terasa lebih nyata dan mudah untuk dibenci (Oopss).
Oh, ya.. sampai akhir bahkan saya tidak merasa yakin karakter mana yang merupakan protagomis pun antagonis dari novel ini. Meskipun Meggie merupakan karakter utama dalam kisah ini, saya hanya menyukai karakternya saat ia bersama Farid, terlebih jika scene tersebut diceritakan dari sudut pandang Meggie. Selain dari itu, saya merasa Meggie terlalu egois, keras kepala, dan menyebalkan tentunya.
Perlu digarisbawahi, ketika buku ini direkomendasikan kepada penggemar Harry Potter, perlu diingat bahwa kisah Meggie memang bersumber dari kekuatan di luar nalar milik ia dan ayahnya, tapi sihir bukan merupakan inti dari kisah ini. Selain itu perbedaan yang saya rasakan adalah, Cornelia Funke sepertinya sangat senang mengeksploitasi sisi negatif manusia dalam karakter cipataannya, yang membuat karakter terasa lebih nyata dan mudah untuk dibenci (Oopss).
Oh, ya.. sampai akhir bahkan saya tidak merasa yakin karakter mana yang merupakan protagomis pun antagonis dari novel ini. Meskipun Meggie merupakan karakter utama dalam kisah ini, saya hanya menyukai karakternya saat ia bersama Farid, terlebih jika scene tersebut diceritakan dari sudut pandang Meggie. Selain dari itu, saya merasa Meggie terlalu egois, keras kepala, dan menyebalkan tentunya.
Karakter
favorit saya dalam buku ini awalnya adalah Staubfinger, si pelahap api, tapi sejak
kemunculan Farid, saya jadi tertarik dengan Farid, apalagi ketika saya sedang
berada pada POV orang pertama alias menjadi Meggie~ (penekanan berulang)
Kyaaaa…,
Farid bisa dibilang cinta sejati saya dari Inkheart, hahaha (upset).
Sementara alasan saya tidak begitu menyukai karakter ayah Meggie, Mo, yang saya pikir karakter paling kikuk diantara yang lainnya. Ia bisa disebut sebagai karakter yang paling mungkin tidak disukai oleh orang lain, namun dapat dipahami oleh orang-orang terdekatnya. Ups, bukan curhat.
Sementara alasan saya tidak begitu menyukai karakter ayah Meggie, Mo, yang saya pikir karakter paling kikuk diantara yang lainnya. Ia bisa disebut sebagai karakter yang paling mungkin tidak disukai oleh orang lain, namun dapat dipahami oleh orang-orang terdekatnya. Ups, bukan curhat.
Oh, iya. Meskipun saya
sangat ingin memiliki koleksi buku super banyak bak Bibi Elinor, saya sangat
tidak menyukai karakter ini. Berbeda dengan karakter Fenoglio, si penulis
Inkheart, entah kenapa saya merasa memiliki kesamaan karakter dengan Fenoglio,
hohoho (berasa penulis). Saya jadi tertarik membuat karakter jahat jika nanti
saya menulis lagi, sepertinya genre fantasy akan menjadi permulaan yang
bagus untuk memulai menulis lagi. Setelah kemunculan Fenoglio, saya merasa lebih diperlihatkan bagaimana sosok seorang penulis yang karyanya hampir terlupakan, hidup dalam keserdehanaan, masih memiliki keangkuhan akan popularitas lampau, dan lainnya, yang membuat saya merasa, ternyata dimanapun, ada penulis yang terlupakan, sejujurnya kehadiran Fenoglio, membuat saya kembali bersemangat untuk menulis lagi.
Saya selalu
menyukai bagian penggambaran karakter ketika menulis, membayangkan seseorang
yang kita sukai, seseorang yang tidak kita sukai, seseorang yang kita impiankan
ataupun seseorang yang tidak kita harapkan. Serasa memiliki dunia kecil
sendiri. Lagipula, penulis akan selalu menjadi orang pertama yang akan jatuh
cinta pada karakternya sebelum yang lainnya. Bisa dibilang ini adalah bonus
sebagai penulis. Jikalau suatu saat karakter tersebut akan muncul di dunia
nyata, seperti Fenoglio yang bertemu Capricorn dan Staubfinger, saya juga akan
merasa sangat exited dengan kehadiran sosok karakter yang saya tulis,
terutama si kaktus. Umm~
Saya merasa telah berbicara berputar-putar tanpa arah, karena ada banyak hal yang ingin saya sampaikan, tapi sulit untuk menggambarkannya dalam kata-kata dan saya kebingungan harus mulai dari mana~
Saya merasa telah berbicara berputar-putar tanpa arah, karena ada banyak hal yang ingin saya sampaikan, tapi sulit untuk menggambarkannya dalam kata-kata dan saya kebingungan harus mulai dari mana~
Review Buku Terakhir : Tintentod (Inkdeath)
Oh, iya, saya
mau share-share kutipan-kutipan menarik dalam buku ini ~
Cusss..
“Memang
benar, api bisa menjadi binatang kecil yang mematikan, tapi kita bisa menakhlukannya”
-Staubfinger
“Kenapa seluruh rumah dibiarkan begini gelap? “, tanyanya ketika Elinor menyalakan lampu di ruang depan.
“Karena aku lebih suka memakai uangku
untuk membeli buku daripada membayar biaya tagihan listrik yang berlebihan“, jawab Elinor.
“Aku sudah membuat perjaanjian dengan angin“, katanya. “Karenanya kau harus tahu satu hal kalau angin sudah memutuskan bermain-main dengan api, aku pun tidak akan dapat menakhlukan api itu. Tetapi, angin sudah bersumpah padaku, malam ini dia akan bersikap baik dan tidak akan merusak kesenangan kita“
-Staubfinger
“Sayangku,“, akhirnya nenekku berkata. “Apa kau yakin tidak bakal sedih harus menjadi tikus sepanjang sisa waktumu? “
“Bagaimanapun tidak ada bedanya“, aku menjawab. “Tidak masalah menjadi apa atau
bagaimana wujudku selama tetap ada yang mencintaiku“.
-Roald
Dahl, Ratu Penyihir
“Karena kita di sini hanya berdua, bisakah kau berhenti menatapku seolah kau akan meracuniku? Apa kita bisa sepakat soal ini? “
…Buku-buku
tak pernah pergi meninggalkan kita , sekali pun, bahkan meski kita
memperlakukannya dengan buruk…
Mungkin
segitu aja deh ya, terlalu banyak kutipan yang menarik dari setiap paragraph
yang ada di buku ini, kalau ditulis semua ntar bisa makan waktu sebulan
lamanhya, hoho. Ciao!
Bonus :
Bonus :
If you've got time to fantasize about a beautiful ending, why not live beautifully until the end? -Sakata Gintoki |
0 komentar:
Posting Komentar